malem itu saya dapat kesempatan istimewa untuk melihat pertunjukan Butet di Balai Budaya, Cak Durasim. kali ini dalam lakon Sarimin. dan itu memang kali pertama saya menonton pertunjukan teater dengan tata panggung, visualisasi yang benar2 tertata apik.
**poto dari kuaetnika.com
saya duduk di bagian VIP, baris 2 dari depan, mantap! dengan iringan musik djaduk, butet pun masuk dengan gaya super cueknya. "gaya khas butet klo masuk," ujar di sebelah saya. Butet kemudian mulai bertutur tentang sosok sarimin, yang dengan mendengarkannya saja ingatan kita akan meluncur ke penjaja aksi monyet jalanan, tandhak bedhes.
Kisah ketidadkadilan ini berawal dari sarimin yang nemu KTP. karna tak bisa membaca dan menyerahkannya langsung ke si empunya, ia pun memutuskan menyerahkannya pada polisi. berharap pak polisi yang lebih pinter itu bisa mengembalikannya.
Malang pun dimulai, pak polisi dengan plang Setia Melayani Anda, dikontraskan dengan sikap pura2 sibuknya yang sangat tidak siap melayani anda yang bukan siapa2. "tunggu saja disitu", begitu ujar pak polisi saat didekati sarimin sembari menekan tuts mesin ketiknya dengan jumawa. dengan kesabaran tingkat tinggi, sarimin yang baik hati menunggu hingga berhari-hari.
Pada suatu ketika, datanglah seorang polisi yang menemui sarimin dan menanyakan keperluannya apa di kantor itu. Sarimin pun bilang dia nemu KTP. Polisi yang melihat sarimin dengan pakaian ala kadarnya itu, langsung menancapkan stereotip maling krucuk padanya. tuduhan2 tidak beralasan khas polisi yang menginterogasi maling ayam pun terjadi. malang bagi sarimin, setiap jawabannya malah diputarbalikkan menjadi kejahatan dengan pasal berlapis.
Saat ia bilang ia nemu KTP, polisi bilang ia mencuri, dikenakanlah pasal pencurian..
Saat ia bilang ia tidak mencuri, polisi bilang ia berkomplot dengan pencuri, ditambahkanlah pasal pencurian berencana..
Saat diketahui itu KTP hakim agung, polisi menuduhnya menyalahgunakan KTP dan ingin memeras si hakim agung..
Saat ia bilang ia tidak bisa membaca maka menyerahkannya pada polisi, ditambahkanlah pasal penghinaan terhadap negara karena pemerintah sudah lama mencanangkan program buta aksara..
Saat ia bilang ia menunggu lama di kantor polisi untuk dilayani, polisi pun mengganjarnya dengan pasal menghina aparat..
dan pada saat itu lah hati saya mulai menangis, sarimin hanya bisa bilang "sumpah pak, saya tidak melakukannya," kalimat khas orang lugu yang terjebak dari keluguannya. dan tidak tahu bagaimana ia kini berada dalam posisi bersalah padahal ia telah melakukan hal yang benar.
Begitulah sepenggal kisah sarimin yang malang. yang membuat saya kini memandang hidup tak hanya hitam dan putih, tapi lebih banyak yang abu-abu. tak semudah itu kita bisa men-judge orang dan menancapkan segala stereotip yang melekat pada kulit luarnya. copet dengan bibir nyonyor penuh tonjokan yang saya wawncarai di polsek wonokromo dulu itu, mungkin juga punya kisah lain dalam hidupnya, kisah yang baik.
setiap manusia punya sejarah.
dan memang jauh lebih gampang bagi polisi untuk menggebuki penyandang setereotip itu untuk memaksanya mengaku bersalah, ketimbang berlama-lama memikirkan ia bisa saja tidak bersalah. ah.. asas praduga tak bersalah dari hongkong?!
Filosofi pohon pisang
Filosofi dari pohon pisang selama ini saya kenal dengan dijuruskan pada cinta sejati, cinta yang esa, dan tidak terbagi. ingat lagu ini?
lihat pohon pisang, yang kan berbuah hanya sekali..
itulah cintaku, yang tak kan mungkin terbagi-bagi..
malem ini saya diperkenalkan pada filosofi pisang yang berbeda, dan saya sadari ternyata lebih masuk akal dari pengibaratannya terhadap cinta.
Pohon pisang berbuah sekali, kemudian mati. dan manusia pasti akan mati, tapi menjadi berguna lah sebelum anda mati. berbuahlah sebelum anda mati. karena itulah yang akan anda tinggalkan kepada orang-orang yg mengenal anda, kegunaan anda untuk mereka.
#####
pertunjukan yang istimewa. malam yang istimewa. teriring lagu
monggo enggal-enggal mlebet.. namung sedoso rupiah..
Senin, Desember 17, 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar